tirto.id - Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti mengatakan penyakit Tuberkulosis (TBC atau TB) dapat menimbulkan masalah yang kompleks secara medis dan sosial, ekonomi, dan budaya.
Dia menilai keterbatasan akses dalam pengawasan pengobatan menjadi salah satu hambatan utama dalam upaya pengendalian penyakit tersebut.
“Ini juga membutuhkan inovasi yang dilakukan untuk mengintensifkan pembiayaan kesehatan, khususnya dalam kasus TB demi memastikan perawatan secara tepat waktu yang berkualitas bagi pasien,” kata Ghufron dalam keterangan tertulis, Senin (3/4/2023).
Ghufron menilai ada beberapa tantantangan yang harus diselesaikandalam dalam mengatasi TBC di Tanah Air. Di antaranya meliputi pengembangan sistem pengawasan yang efektif, percepatan identifikasi kasus, memastikan staf dan fasilitas laboratorium yang memadai, keterlibatan praktisi swasta, dan koordinasi yang efektif di antara penyedia layanan kesehatan.
Ghufron mendorong adanya sinergi antar lembaga yakni antara Kementerian Kesehatan bersama Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Joint Learning Network (JLN), World Bank, United States Agency for International Development (USAID), Gaters Foundation hingga Global Fund.
“Penanganan TB tidak bisa dikerjakan sendiri, tapi harus melibatkan banyak pihak. Komitmen dari seluruh antar lembaga sangat dibutuhkan dalam pengendalian kasus TB di Indonesia,” ujarnya.
Dalam menangani TBC, Ghufron menyebut BPJS Kesehatan telah melaksanakan interoperabilitas sistem informasi program JKN melalui perluasan kerja sama dengan kementerian/lembaga untuk mengoptimalkan penggunaan data Program JKN.
“Progres saat ini, BPJS Kesehatan telah memberikan data terkait TB dan telah dilakukan pemadanan dengan Kementerian Kesehatan. Harapannya tentu pemanfaatan data ini akan berdampak pada upaya penanggulangan penyakit dan termasuk dalam pembiayaan yang ditanggung oleh Program JKN,” tambah Ghufron.
Sementara itu, Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Desentralisasi Kesehatan, Yuli Farianti menilai mekanisme pembiayaan TBC saat ini masih belum optimal.
“Tahap uji coba sudah dilakukan dengan melihat kesiapan fasilitas kesehatan dalam pengembangan kapasitas faskes dan modifikasi proses kredensial. Namun, saat ini belum ada fasilitas kesehatan yang melakukan modifikasi ini dengan mekanisme pembiayaan,” kata Yuli.
Yuli mengatakan upaya pengendalian TBC dapat dijadikan sebagai indikator persyaratan uji kelayakan (credentialing) terhadap Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP). Selain itu, perlu adanya perbaikan terhadap pola pembayaran.
“Dari hasil intervensi pembiayaan terhadap TB, terlihat angka kesembuhan semakin meningkat, karena mereka memiliki target dalam pengawasan kasus TB,” sambung Yuli.
Dalam keterangan terpisah, Plt Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI, Tiffany Tiara Pakasi mengatakan 2022 menjadi tahun dengan jumlah kasus TB terbanyak di Indonesia.
Sebanyak 85 persen pasien TB tersebut telah mendapatkan perawatan. Hal itu didukung dengan jumlah penyebaran fasilitas kesehatan yang melakukan notifikasi kasus TBC pada 2022.
“Kami juga telah melakukan pemadanan data antara BPJS Kesehatan dengan Sistem Informasi TB melalui proses cleaning duplikasi via Nomor Induk Kependudukan (NIK) pasien. Dari proses tersebut, terdapat 95.571 pasien dengan diagnosa yang belum tercatat di SITB,” kata Tiara.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Gilang Ramadhan